kalender
- Home >
- kisah kisah hantu china
Posted by : safittri hasby
Rabu, 28 Oktober 2015
Kisah hantu hantu cina
Part 1.
JIWA LONCENG AGUNG
Jam air
berdentang menunjukkan pergantian waktu di Tachung sz’¹. Di menara Loceng Agung, palu kayu terangkat dan siap memukul
bibir sang logam raksasa. Bibir lonceng dihiasi ajaran- ajaran budha dari kitab
suci Fa-hwa-King pasal Ling-yen-King! Dengarlah lonceng agung berdentang!
Suaranya begitu membahana, meski ia tak berlidah! Ko-Ngai!² suara itu membuat
naga-naga kecil bersepuh logam yang melata diatas genting hijau bergetar dari
kepala hingga ujung ekor. Patung-patung porselen penjaga rumah menggigil diatas
tempat bertenggernya yang berukir. Ratusan genta kecil di pagoda bergetar,
menahan hasrat untuk ikut berseru. Ko-ngai! Lantai hijau berpadu emas di kuil
bergetar, ikan emas kayu di atasnya menggeliat seolah bersiap melawan awan,
jari Fo yang menunjuk langit bergetar di atas kepala para pendoa melalui kabut
biru yang berasal dari dupa!Ko-Ngai! Betapa menggelegar suarwanya! Semua patung
goblin dinding istana menggetarkan lidah! Setiap kali, setelah suara membahana
dan gema lonceng yang bergaung susul menyusul. Akan terdengar tangis saat nada-
nada tebal semakin memudar dan memasuki nada perak yang lirih layaknya suara
perempuan yang membisikkan ,”Hiai!”
suara lonceng agung terus terdegar setiap hari selama hampir lima ratus tahun.
Ko-Ngai. Begitulah suara gentangan awalnya yang keluar biasa, disusul erang
emas yang terkata, kemudian desir lirik perak membisikkan, ,”Hiai!” tak satupun anak dikota tua china
yang mengetahui kisah Lonceng Agung. Tak satupun anak-anak yang tak bisa
bercerita kenapa lonceng agung menyenandungkan Ko-Ngai and Hiai.
Inilah cerita tentang agung di Tachung
sz’¹, sebagaimana yang diceritakan
dalam Pe-Hiao-Tou-Choue yang ditulis
Yu-Pao-Tchen, sang cendekia dari kota Kwang-Tchau-fu.
Sekitar lima ratus tahun yang lalu,
yang suci, dan mulia, sang putra langit, Yong-Long yang “Termasyhur” dari
dinasti Ming, pemerintah pejabat ternama Kouan-yu untuk membuat sebuah Lonceng
besar yang Suaranya yang bisa didengar dari jarak ratusan Li. Dia meminta agar suara lonceng diperkuat dengan kuningan
diperdalam dengan emas, dan dipermanis dengan perak. Yong lo juga meminta agar
tubuh dan bibir lonceng diukir dengan pujian-pujian yang diambil dari salah
satu kitab buddha. Lonceng itu akan digantung ditengah kota raja, agar ketika
dibunyikan suaranya akan terdengar ke segenap penjuru kota Peking.
Maka,Kouan-yu mengumpulkan para ahli
ukiran dan pandai lonceng dari penjuru negeri. Dia juga mengundang para ahli
logam yang cerdik dan ternama. Dengan seteliti mungkin, para ahli itu
menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pengecoran dan menanganinya dengan
cakap. Mereka menyiapkan cetakan, api, peralatan, dan bejana raksasa untuk
peleburan logam. Semua giat bekerja layaknya raksasa mengabaikan istirahat,
tidur dan kenikmata hidup. Mereka bekerja keras siang dan malam atas nama
kepatuhan terhadap Kouan-Yu, bersungguh-sungguh melakukan segala pekerjaan demi
mewujudkan sabda sang Putra Langit.
Namun, setelah logam cair dituang,
cetaka tanah dihancurkan dan dipisahkan dari logam, ternyata hasilnya tidak
memuaskan. Padahal mereka telah bekerja keras dan sangat hati-hati. Logam-logam
saling meniadakan emas mencemooh suara kuningan, perak enggan menyatu dengan
besi. Sekali lagi cetakan disiapkan, api kembali dinyalakan, logam kembali
dinyalakan, logam kembali dicairkan, dan pekerjaan yang membosankan serta
melelahkan diulangi. Sang putra langit mendengar berita itu. Ia marah, tapi tak
mengatakan apapun.
Kali kedua lonceng itu terbentuk,
hasilnyalebih mengecewakan. Logam-logam tetap enggan menyatu satu sama lain.
Bentuknya tak wajar, sisinya retak dan pecah-pecah, bibirnya menebal dan
terbelah. Kouan-Yu cemas karena ia harus mengulangi pekerjaan yang sama untuk
ketiga kali. Ketika sang putra langit mendengar kabar ini, pesan untuk
menyampaikan surat kepada Kouan-Yu. Di atas sutra berwarna lemon dan bersegel
tanda naga, tertulislah:
“Dari yang mulia Yong-Lo, sang
tait-sung agung, yang suci dan mulia penguasa dari dinasti’Ming’ untuk Kouan-Yu
sang Fuh-yin:
Dua
kali kau telah , menyia-nyiakan kepercayaan yang ku berikan kepadamu. Jika kau
gagal menyelesaikan perintah untuk ketiga kalinya, maka kepalamu akan
dipisahkan dari lehermu. Camkan dan patuhi!”
Kouan-yu memiliki seorang putri jelita
yang bernama Ko-Ngai. Ko-ngai menjadi buah bibir para penyair, terlebih lagi
karena hatinya lebih cantik dari wajah. Ko-Ngai mencintai ayahnya hingga ia
menolak asmara ratusan pemuda karena takut membuat rumah menjadi sepi karena
ketidak adaanya. Ketika dia melihat surat resmi bersegel naga, Ko-Ngai sangat
cemas memikirkan ayahnya dan pingsan saat kesadarannya kembali, ia tak henti
memikirkan keselamatan orang tuanya. Suatu hari diam-diam ia menjual salah satu
perhiasannya denag uang yang ia miliki, Ko-Ngainmenemui seorang peramal,
membayarnya dalam jumlah besar dan meminta nasihat untuk meringankan kesusahan
yang membelit ayahnya.
Sang peramal mengamati langit menandai
gelombang perak (galaksi bima sakti), memeriksa tanda-tanda zodiak Hwang-tao,
atau jalan kuning. Ia kemudian mencocokan dengan table Lima Hin atau prinsip semesta, dan kitab
mistik alkemis. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya peramal berkata “Emas dan kuningan takkan mau menyatu, perak dan besi
takkan saling melengkapi, hingga danging seorang gadis di korban kan dalam
bejana peleburan. Hanya darah seorang perawan yang akan menyatupadukan logam.” Ko-Ngai pulang dengan hati sedih. Ia tetap merahasiakan
semua yang telah di dengar nya dan tak membocorkan rencananya.
Akhirnya, tibalah hari yang mengerikan
itu. Saat upaya ketiga dan terakhir untuk membuat lonceng agung datang. Ko-Ngai
dan dayang perempuan nya menemui Kouan-Yu mengunjungi tempat pengecoran. Mereka
berdiri di atas balkon melihat cetakan
serta gelegak logam cair didalam bejana. Para pekerja bekerja dalam diam. Tak
ada suara yang terdengar selain desis api dan cairan logam semerah darah yang
perlahan semakin terang sewarna matahari pagi. Cairan itu memancarkan cerah
emas yang kemudian memutih layaknya warna perak bulan purnama. Para pekerja
berhenti memperbesar api, semua melempar pandang ke Kouan-Yu yang bersiap
memberi tanda untuk menuan cairan logam.
Tapi, sebelum ia mengangkat jarinya,
sebuah tangis membuatnya menoleh. Semua yang hadir di tempat itu mendengar
suara Ko-Ngai yang merdu layaknya nyanyian burung diantara kemeretak api, “Demi kebaikanmu ayaah! Diiringi tangisannya, ia melompat ke dalam logam yang
mendidih. Lava menggelegak menyambutnya. Cairan logam memercik hingga ke atap,
beberapa meluap dari bibir bejana dan membakar sekitar dengan beragam
warna-warni api yang tak lama lalu mereda bersama kilat, guruh, dan gumam.
Ayah Ko-Ngai, kehilangan akal karena
dukanya, siap melompat menyusul sang buah hati. Tapi, seseorang mendekapnya
erat-erat hingga akhirnya Kouan-yu pingsan. Mereka membawanya pulang layaknya
membawa mayat. Dayang perempuan Ko-Ngai bingung dan tak mampu berkata. Ia
berdiri didepan tungku pembakaran sambil memegang sebuah sepatu. Kecil, cantik,
dengan sulam bermotif mutiara dan bunga sepatu tuan putrinya yang cantik. Ia
berusaha menangkap kaki Ko-Ngai ketika melompat, tetapi hanya berhasil
mencengkram sepatunya. Sepatu cantik yang terlepas itu sekarang ada dalam
genggamannya. Ia terus memandangi sepatu itu layaknya orang gila.
Apa pun yang terjadi, perintah dari
Yang Suci dan Mulia harus tetap dipatuhi. Pencetakan harus diselesaikan, dan
para pekerja memang tak lagi banyak berharap dengan hasil yang mungkin didapat.
Kilau logam terlihat lebih murni dan cemerlang dari sebelumnya, tanpa sedikit
pun tanda adanya tubuh indah yang melebur bersamanya. Maka pencetakan
dilanjutkan, dan ternyata, ketika logam mulai mendingin, lonceng terlihat lebih
indah. Bentuknya sempurna dan warnanya adalah komposisi warna terbaik dari
semua lonceng yang pernah ada. Tidak juga dijumpai sisa-sisa tubuh Ko-Ngai. Ia
menyatu seutuhnya dengan campuran kuningan dan emas, membaur tanpa cela dengan
perak dan besi. Ketika mereka membunyikan lonceng, suaranya terdengar lebih
dalam, lembur, dan bergemuruh dibandingkan dengan lonceng lainnya. Bahkan,
suaranya terdengar lebihdari seratus li, seperti
gemuruh halilintar dimusim panas. Suara itu seolah mendengungkan sebuah nama,
nama seorang perempuan Ko-Ngai!
Hingga saat
ini, diantara tiap pukulan akan terdengar erang panjang dan lemah yang diakhiri
dengan suara isak dan keluh. Suara itu layaknya perempuan menangis sambil
bergumam, “Hiai!’’ hingga saat inii,
ketika orang-orang mendengar erang lonceng agung, mereka akan terdiam. Ketika
terdengar jelas suara mengerikan dan isakan “Hiai!”
maka semua ibu disegala penjuru peking akan berbisik pada anak-anaknya, “Dengar!Suara Ko-Ngai menagis meminta
sepatunya! Ko-Ngai memanggil sepatunya!”.